Monday, August 31, 2015

Flat Shoes vs High Heels

  Terlalu hambar... Memang sepertinya orang yang membuat kue ini tidak begitu suka rasa manis.  
Batin Akari dalam hati untuk kesekian kalinya. Ia melirik ke arah chef di dalam dapur toko kue itu dengan tatapan bertanya-tanya. 
Nama toko kue ini sesungguhnya memiliki arti manis dan dekorasi ruangannya pun mendukung nama toko kue ini. Namun mengapa banyak kue yang tercipta di dalam toko ini begitu hambar dan tidak tidak terasa manis sama sekali. Terlebih lagi orang-orang yang membelinya atau pun memakannya tidak kelihatan memprotes seperti yang Akari pikirkan. Apa karena tertutup oleh penampilan kue ini? Penampilan kue ini terbilang bintang kelas dan sungguh menarik hati setiap orang yang melihatnya. Tapi rasanya tidak sepandan dengan penampilannya. Apa lidah Akari terlalu banyak maunya dan tidak sama dengan orang-orang yang mencicipinya? Entahlah Akari sendiri bingung dengan rasa kue tersebut. Bisa saja kan lidahnya sedang tidak mantap memahami rasa kue di toko tersebut. Akari memang suka dengan perihal kue, apa pun itu, namun sayangnya ia tidak pandai membuatnya. Ia lebih suka membeli jadi meskipun rasanya tidak pas di lidah Akari.
Akari kembali menatap kue di tangannya. Memang penampilannya menggiurkan, tapi setelah memakannya kekaguman akan penampilan kue tersebut seketika lenyap. Ini ke tiga kalinya Akari datang ke toko kue "doux au gâteau" yang artinya kue manis dan mencicipi beberapa kue yang berbeda tapi hasilnya selalu sama di pikiran Akari, ia tidak puas akan hasilnya. Hanya kagum pada penampilannya. Akhirnya Akari memutuskan untuk keluar dari toko kue tersebut dan melanjutkan perjalanannya kembali. Baru beberapa langkah ia keluar dari toko kue "doux au gâteau" flat shoesnya mengirim sinyal bahaya.
Jangan lagi-lagi, please. 
Dan sepertinya hari ini benar-benar membuat hari Akari tidak semanis yang ia harapkan. Flat shoesnya yang entah kesekian kalinya ia beli berakhir rusak. Akari pecinta flat shoes, ia hampir mempunyai 17 pasang flat shoes di apartemennya. Berbagai model ia miliki dan berbagai warna ia pilih sebagai ciri khasnya. Rata-rata model flat shoesnya memiliki pita-pita yang manis namun kelihatan elegan dan warnanya pun kebanyakan berwarna pastel. Karena di kakinya warna pastel sangatlah cocok dan terlihat cantik. Pastel pink merupakan warna favoritenya sejauh ini.
Ia tersenyum masam melihat flat shoes yang dipakainya hari ini harus berakhir sama dengan flat shoes rusak lainnya. Akari meneruskan langkahnya ke toko sepatu wanita di seberang jalan. Semoga saja ia menemukan yang ia harapkan. Orang-orang berlalu lalang dengan tatapan yang bergembira, ada yang berjalan bersama keluarganya dengan muka yang penuh keharmonisan, ada pula yang bersama teman-temannya dengan muka penuh keceriaan, dan ada pula dengan pasangannya yang penuh kehangatan. Sungguh terbalik dengan apa yang Akari rasakan dalam hidupnya. Mereka kelihatan benar-benar menikmati kehidupan ini, seolah tanpa beban. Bisa jadi ada beban yang mereka pikul, namun mereka menutupinya dan tidak kelihatan lemah di hadapan orang lain. Kita tidak pernah tahu kehidupan masa lalu orang lain seperti apa sesungguhnya.
Sesampainya di toko sepatu itu ia menemukan banyak sekali model terbaru musim ini. Terutama pada high heels yang sesungguhnya ia lelah melihatnya di setiap toko sepatu. Akari menghela napas perhalan mengingat kehidupan palsunya. Ya, Akari memang memiliki kehidupan yang berbeda 180 derajat dari penampilan kesehariannya. Ia sebetulnya seorang model catwalk di panggung-panggung fashion show ternama. Akari model yang patut diperhitungkan di mata dunia model. Namun dalam lubuk hati terdalamnya ia menolak pekerjaan itu, Di belakang panggung sungguh berisik dan berantakan. Namun setelah berjalan di panggung setiap model diharuskan berjalan dengan sempurna, seolah kerusuhan di belakang panggung tidak pernah ada. Menyedihkan ketika harus menutupi fakta yang seharusnya. Apa kehidupan sekarang seperti ini, fake smile and hide pain. Akari harus mempertahankan pekerjaannya itu apabila ia tidak mau kehilangan tempat tinggalnya saat ini.
Pekerjaan seorang model memang menjanjikan untuk kehidupan Akari, namun ia harus menahan rasa sakitnya ketika berjam-jam memakai high heels setinggi 7 hingga 12 cm. Jujur saja kakinya sudah tidak kuat menopang kepura-puraannya bahwa high heels merupakan kesempurnaannya. Telapak kakinya seolah mati rasa waktu awal-awal ia memakai high heels, ia pernah mengalami beberapa malam yang buruk karena menahan sakit di kakinya. Akari tidak tahu mengapa teman-teman model yang lain tidak mempermasalahkan rasa sakit itu, Apa karena itu benar-benar passion mereka dalam dunia model? Apa karena mereka sudah terbiasa menahan semua sakit itu? Apa memang Akari hanya membutuhkan ini namun tidak mencintainya? Kehidupan sebagai seorang model sangatlah keras. Ia harus mampu tersenyum dan menciptakan hasil karya yang menarik di depan camera. Seorang model harus bisa membuat camera menyukainya. Seorang model harus paham siapa dirinya. Seorang model harus tahu bentuk tubuhnya. Dan seorang model harus keluar dari zona amannya.
Mengingat akhir tahun ada pameran fashion show terbesar di Paris dan setiap model memimpikan hal itu, menjadi model bintang kelas atas! 
Akari tidak pernah berani memimpikan hal tersebut. Karena ia tidak yakin kuat menghadapinya. Meskipun ia menginginkannya tapi selalu ada keraguan dalam dirinya.
Menjadi seorang model terkenal saja sudah membuatnya harus menahan semua sakit dan kelelahan. Bagaimana menjadi seorang bintang atas? Akari tidak berani membayangkannya.
Sudah 20 menit ia memutari toko sepatu itu dengan seksama, namun ia tidak menemukan sepatu yang ia harapkan. Yah, hanya sekedar berharap tanpa berhasil menemukan hasilnya. 
Nampaknya ia harus meneruskan perjalanannya kembali. Dengan kondisi flat shoes yang segera ia ingin ganti. Apa ia harus kembali ke toko sepatu tadi dan membeli salah satu dari toko itu. Akari memang tertarik terhadap satu sepatu, high heels dengan tinggi 7 cm berwarna soft pink. Lagi-lagi pink. Akari memang menyukai warna itu dari kecil. Permasalahannya ialah itu sebuah high heels dan Akari sedang mengurangi koleksi high heels di apartemennya. Andai saja itu bukan high heels namun sebuah flat shoes, tanpa banyak pikir ia sudah mengambil dan membelinya. Atau memang jodohnya harus bertemu high heels itu...
Sungguh menyebalkan. Tidak bisakah seorang designer menciptakan satu buah sepatu dengan dua versi flat shoes dan high heels...?
Akhirnya ia kalah akan perdebatannya dalam hati dan pikiran, sehingga membuatnya kembali ke toko sepatu itu. Akari memegang high heels tersebut dan masih memandangnya dengan seksama. Ia masih ragu, namun flat shoesnya kini sudah mustahil untuk bisa berjalan lebih jauh. Seorang pelayan tokoh itu menghampiri Akari dengan senyuman, "Itu merupakan koleksi terbaru dari toko kami dengan limited edition. Saya rasa high heels ini sangat cocok dipakai oleh anda." pelayan itu terlihat sangat manis dengan rambut kuncir kuda. Bodynya pun terlihat bagus sebagai seorang model, ia hanya kurang tinggi sebagai model catwalk. Mukanya meskipun manis namun ia bisa membuat camera menyukai ekspresinya. Tunggu... Mengapa jadinya Akari menganalisi pelayan tokoh itu? Sepertinya kehidupan seorang model sudah menghipnotisnya untuk terus-terusan menilai sebuah penampilan.
"A, maaf. Apakah ada versi flat shoesnya?"
Pertanyaan yang bodoh. Sudah seharusnya aku tahu jawabannya.
Pelayan itu kembali tersenyum kepada Akari.
"Tidak... Tidak ada kan, ya?" Akari langsung meneruskan omongannya sebelum pelayan itu menjawab pertanyaan Akari.
"Benar. Memang tidak ada versi flat shoes dari koleksi sepatu kami yang satu ini." Pelayan ini kembali tersenyum. Apa benar ia seorang pelayan toko ini. Penampilannya terlalu cantik sebagai seorang model. Lalu Akari melihat sekeliling toko itu dan baru menyadari bahwa tidak ada pelayan lain, bahkan di kasir pun ia tidak menemukan seorang pun. Atau jangan-jangan ia pemilik toko ini?
"Apa kau pemilik toko ini?" tanya Akari dengan hati-hati. Ia takut berbicara sembarangan. Tapi penampilannya sungguh membuat Akari bertanya-tanya. Terutama pada mukanya. Ia benar-benar kelihatan seorang model.
"Bukan." jawaban pelayan itu membuat Akari melebarkan matanya yang sipit. Pelayan itu tertawa pelan melihat muka Akari. "Saya anak dari pemilik toko ini. Tentu tidak bisa dibilang pemilik toko ini, bukan? Karena bukan saya yang menciptakan ini. Saya hanyalah seorang anak yang disuruh untuk bekerja demi toko ini. Singkatnya, penerus toko ini." balas pelayan itu dengan memperhatikan high heels yang masih dipegang oleh Akari.
"High heels itu... Membuat mu pernasaran, kan?" Pelayan itu bertanya dan Akari terheran dengan pertanyaannya.
Apa ia bisa membaca pikiran ku?
"Kau tadi keluar dari toko ini dengan menatap high heels itu lama sekali. Seolah kau berdebat didalam pikiran mu. Baiknya ku miliki ini atau hanya melihatnya saja? Bukan, begitu?" Akari tersenyum kecil mendengar pelayan toko itu. Seharusnya ia menanyakan nama pelayan tersebut. 
"Perkenalkan nama ku Reine." dan lagi-lagi ia berhasil membaca pikiran Akari.
"Aa, senang bertemu dengan mu Reine. Nama ku Akari."
Bila dilihat dan di gabungkan mereka bisa menjadi partner model yang cocok. Apa hanya Akari yang memikirkannya terlalu jauh? Entahlah.
"Sebaiknya kau membeli high heels itu apabila kau benar-benar ingin memilikinya. Karena high heels itu hanya ada beberapa. Dari penampilan mu, sepertinya kau seorang model, ya? Cara mu melihat sebuah high heels tidak seperti kebanyakan orang. Kau seolah ingin menghilangkannya. Dan lebih memilih versi flat shoes." kata-kata Reine terus membuat Akari melihat ada sesuatu yang menarik dari diri Reine. Percakapan mereka seolah langsung pada intinya dan tidak ada basa-basi. Seolah memang mereka sudah tahu apa yang harus mereka komentarkan. 
"Lalu pertanyaan mu yang tadi..." sambung Reine, membuat Akari memalingkan wajahnya dari high heels di tangannya ke muka Reine. "Apakah tidak ada versi flat shoesnya? Seorang designer tidak akan membuat satu karya dengan dua versi apabila seorang designer sudah yakin dan mantap dengan karyanya, tanpa adanya keraguan. Memang model high heels itu akan terlihat manis dengan versi flat shoes. Tapi hati seorang designer tahu betul apa yang harus ia hasilkan. Mereka membuat satu versi karena mereka yakin ciptaan mereka bertujuan akan satu hal.  Tidak membuat orang banyak yang menikmati hasil karya mereka kebingungan akan dua versi. Satu saja sudah membuktikan jawabannya."
Untuk pertama kalinya Akari tidak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban Reine. Ia bahkan berpikir dan menyetujuinya tanpa ragu. Seorang designer memang sudah seharusnya yakin akan hasil karyanya tanpa membuat keraguan. Akari kagum dengan pemikiran Reine, ia yakin dalam jiwa Reine pasti memiliki jiwa yang memaksakan dirinya untuk kuat menghadapi semua beban. Mengingat ia penerus toko ini dan sepertinya ia benar-benar menikmatinya. Senyumannya yang menghampiri customer dan melayani dengan baik ialah buktinya. Ia tidak tanggung-tanggung memberikan jawaban yang bisa saja tidak akan pernah Akari dapatkan dari toko lain, bahkan dari pemilik atau penerus toko sekalipun.
"Kau seorang model?" tanya Akari. Ia tidak bisa menghilangkan opininya dari awal, bisa saja ia bukan seorang model tapi memiliki penampilan layaknya model. Reine kembali tersenyum lembut. Reine menggelengkan kepalanya dan Akari sudah mendapatkan jawabannya. 
"Tapi aku menyukai dunia model dan pernah bercita-cita menjadi seorang model profesional. Hanya saja orangtua menginginkan aku untuk bekerja bukan layaknya seorang model. Tapi bekerja layaknya menciptakan seorang model. Dengan menghasilkan sebuah karya dan bisa dipakai oleh banyak orang. Dulu aku tidak setuju dan memberontak serta bersikeras untuk menjadi seorang model. Namun seiring waktu aku benar-benar baru paham. Ternyata menciptakan seorang model jauh lebih menantang dari pada menjadi seorang model. Seorang model harus menahan rasa sakit dengan sepatu-sepatu tinggi dan tampil dengan baju-baju yang mungkin saja ia tidak ingin pakai."
Akari menelan ludah dengan pelan, ia menatap high heelsnya lagi. Setiap seorang wanita ingin tampil menarik di mata banyak orang. Tak heran mereka banyak berlomba untuk memakai pakaian yang membuat body mereka terlihat indah dan high heels yang mendukung penampilan mereka dari head to toe. Namun di balik itu semua... Banyak dari mereka menahan sakitnya memakai high heels dan tidak percaya diri dengan penampilan natural mereka. Wanita butuh make up untuk menutupi semua ketidaksempurnaan. Hanya itu yang bisa membuat wanita senang, terlihat cantik.
Akari teringat toko kue "doux au gâteau", arti nama toko itu memang kue manis. Namun kenyataannya tidak semua menghasilkan manis. Sama dengan kehidupan modelingnya. Ia terlihat mempesona dengan semua pakaian, aksesoris dan sepatu tingginya. Namun setelah dirasa semua itu hanya sekedar penampilan. Dan banyak orang menyukai penampilan yang bagus tanpa menolaknya sedikit pun. Mungkin saja chef itu memiliki kehidupan yang sama dengannya. Penampilan memang mudah diubah dan dibuat, namun rasa dan perasaan tidak bisa ditutupi. Penampilan memang mudah ditutupi. Kau cukup tersenyum disaat banyak masalah dan orang-orang sekitar akan mengira bahwa kau kelihatan baik-baik saja. Saat ini obat yang paling manjur menutupi semua kesedihan ialah dengan tersenyum.
Pertemuan dengan Reine bukanlah suatu kebetulan bagi Akari. Reine membuat Akari tersadar, kehidupan yang sesungguhnya tidak ia inginkan malah membuat orang lain mengharapkan posisinya namun tidak bisa berada di posisi tersebut.
Akari akhirnya memutuskan membeli high heels itu. Ini bisa menjadi kenangan yang bermakna bila melihat sepatu itu. Sepatu inilah yang membuat ia bertemu dengan Reine dan sepatu ini jugalah yang membuat ia ragu. Ketika ada keraguan yang menghadang, namun seseorang bisa memberikan sebuah jawaban dari keraguan itu, sungguh hal yang luar biasa dirasakan dan besar maknanya.
"Aku ambil high heels ini. Tolong bungkuskan untuk ku, ya?"
Reine mengangkat alisnya dan menunggu reaksi Akari, siapa tahu Akari berubah pikiran.
Tapi sepertinya Akari sudah memantapkan pilihannya. Mengingat tadi ia benar-benar ragu dan kelihatan sungguh tidak ingin melihat high heels hingga Akari sendiri memutuskan untuk membelinya merupakan hal yang tidak terduga bagi Reine.
"Oke." Reine mengambil high heels itu dari tangan Akari dan menuju ke meja kasir.
"Apa karena high heels ini merupakan limited edition?" tanya Reine yang sedang sibuk membungkus dan merapikan barang Akari. Akari sedang memperhatikan sekeliling barang-barang toko itu dan baru menyadari bahwa hanya ada mereka berdua di toko sepatu itu. Kenapa ia tidak menyadarinya dari tadi. Apa karena keasikan berbincang dengan Reine? Ia rasa tidak. Memang ia merasa ganjil dari tadi, suasana begitu hening, hanya diiringi musik-musik klasik hanya saja Akari tidak begitu memperhatikan sekelilingnya.
"Ngomong-ngomong, mengapa toko ini sepi sekali?"
Reine menghela napas pelan dan kemudian tertawa mendengar pertanyaan Akari.
"Mengapa kau baru tanya sekarang? Apa dari tadi kau merasa sesuatu tapi kau menghiraukannya. Feeling mu itu bagus. Tapi jangan pernah sesekali meremehkan feeling mu sendiri."
Yeah, she right again!
"Tentu saja toko ini sepi, sebelum kau balik lagi ke toko ini aku sudah menutupnya. Karena aku harus pergi ke tempat orang tua ku. Mereka menyuruh ku menutup toko ini setelah makan siang. Namun tadi aku lupa menguncinya, karena masih merapikan letak-letak sepatu di depan. Dan kau masuk begitu saja tanpa membaca papan di depan kaca yang bertuliskan "close"."
"Benarkah?? Aku tidak sadar. Lalu kenapa kau tidak menyuruhku untuk pergi? Atau setidaknya bilang pada ku bila toko ini sudah tutup." Akari berbicara sambil menuju ke meja kasir untuk mengambil barangnya yang sudah terbungkus rapi itu.
"Tidak bisa, karena ekspresi mu dan gerakan mu itu yang membuat ku mengurungkan niat tersebut. Aku selalu penasaran dengan kehidupan para model yang menutupi kesakitan di kaki dan ekspresi di muka mereka. Mungkin kau tidak tahu, tapi aku ini mengikuti perkembangan para model untuk ku jadikan seorang model bintang dengan brand toko ini... Termasuk kau." Reine membalas pertanyaan Akari dengan senyuman dan membuat kedipan mata di akhir omongannya.
Boleh juga gayanya.
Akari mengucapkan terima kasih atas pelayanan dan waktu Reine. Seketika ia membuka pintu toko itu, Akari membalikan badan ke arah Reine. Dan ia tersenyum kepada Reine.
"Ada yang tertinggal?"
Akari masih berdiri di depan pintu toko itu, "Ya, aku belum memberikan jawaban dari pertanyaan mu yang tadi."
Reine memiringkan kepalanya sedikit dan mencoba mengingat pertanyaan yang ia ajukan kepada Akari.
"Apa aku membeli sepatu ini karena limited edition?"
Ah, Reine baru tersadar kalau Akari belum menjawab pertanyaannya.
"Tidak. Buka karena ini edisi limited edition."
Reine menunggu kelanjutan jawaban Akari. Ia menatap lurus Akari yang ia lihat di depan pintu depan tokonya. Ia penasaran jawaban dari Akari.
"Karena setiap sepatu punya cerita dan kenangan tersendiri." Akari mengakhiri jawabannya dengan kedipan mata dan tangan kanan yang ia angkatkan ke mata kanannya sendiri dengan posisi jari telunjuk dan tengah berdempetan lalu sisa jarinya ditekuk dan mengayunkan ke depan, seolah Akari sedang mengoda Raine di ujung sana. 
Akari menutup pintu toko tersebut dan melangkah dengan kaki yang terasa ringan, bahkan ia lupa bahwa ia harus memakai sepatu yang baru ia beli untuk menggantikan flat shoesnya yang sudah rusak.
"Boleh juga gayanya" Reine berguman sendiri sambil melihat Akari berjalan keluar tokonya dan ia menjadi tertawa sendiri mengingat pertemuan tak terduganya dengan Akari. Reine yakin ini seperti takdir yang memacu semangatnya untuk bertemu dengan Akari kembali dan menginginkan Akari sebagai model utama brand toko orangtuanya ini.
Sampai berjumpa lagi... Akari. Wanita yang menghindari high heels namun tidak bisa menolak high heels. Kita pasti bertemu kembali. Suatu saat nanti.




Beberapa tahun kemudian, Reine berhasil mengelola toko sepatu orangtuanya dari sebuah toko kecil menjadi toko besar. Terakhir ia bertemu dengan Akari 3 tahun yang lalu. Karena setelah pertemuan mereka di toko itu beberapa minggu kemudian Reine harus menutup toko itu serta pindah ke Paris dan memulai lagi dari nol bersama orangtuanya di sana untuk meluaskan karya mereka di Paris.
Benar saja, harapan Reine terwujud. Ia bertemu kembali dengan Akari di Paris. Akari berhasil mencapai model profesional kelas atas yang dulunya ia tidak berani bayangkan. Ia keluar dari zona amannya dan berhasil mencapainya dengan kerja keras.
Mereka bukan lagi sebagai teman biasa yang baru berkenalan seperti 3 tahun yang lalu, namun sebagai sepasang partner yang memiliki cita-cita masing-masing, yaitu menjadi seorang model dan menciptakan seorang model. Lalu, toko sepatu Reine yang berhasil ia kembangkan ialah bernama "lumière" yang artinya cahaya. Dan Akari sebagai model utama brand lumière tersebut.



-R.O-