Photo : credit to owner (source : Google)
Cuaca hari ini tampaknya tidak cukup bersahabat dengan ku. Terlihat sekali
hujan yang begitu deras dan angin yang bertiup dengan kencang. Padahal hari ini
aku akan pergi latihan piano. Aku menatap jendela berkali-kali dan selalu
bertanya dalam hati, kapan hujan ini akan berhenti? Tapi aku rasa hujan ini
akan lama sampai malam hari.
Tok
tok tok...
“Glori,
kamu mau mama anterin latihan piano hari ini?” mama muncul dengan tersenyum tapi
aku tahu dibalik senyuman itu kondisinya sangat lemas. Ya, mama memang memiliki
penyakit yang membuat aku ketakutan mendengarnya. Kanker otak. Terkadang kalau
aku lihat mama aku merasa takut akan kehilangan mama secara tiba-tiba.
Aku
tersenyum dan memeluk mama, “Mama lagi sakit, aku bisa pergi sendiri kok, mama
istirahat saja.” Mama melihat ku dengan baik-baik, “Benar tidak apa-apa
sendirian?” tanya mama dan aku meyakinkan mama dengan senyuman ku.
Akhirnya setelah aku
mengantarkan mama ke kamarnya untuk istirahat aku melangkahkan kaki ku ke pintu
depan apartemen. Aku hanya tinggal berdua dengan mama dan kebetulan aku anak
tunggal. Papa sudah tiada akibat kecelakaan yang menimpanya empat tahun yang
lalu. Aku harus berusaha merawat mama dan belajar dengan baik. Piano satu-satunya
kunci kehidupan aku saat ini. Aku ingin menghibur hati mama dengan suara piano
ku.
Hujan memang masih turun, tapi
aku sudah janji kepada mama kalau aku akan pergi ke tempat latihan. Setelah aku
mengunci pintu tiba-tiba saja pintu sebelah terbuka. Deon, teman sekaligus
tetangga ku. Tapi sayangnya aku tidak akrab dengannya. Deon hanya akrab dengan
mama. Karena takut terlambat aku pun langsung turun kebawah tanpa berkata
apa-apa kepadanya.
“Hei,
mau kemana?” suara itu membuat aku terkejut. Deon berbicara kepada ku. Padahal sebelumnya
kami tidak pernah saling berbicara, hanya sekedar tahu nama saja. “Mau pergi
latihan piano, ada... apa?” balas ku dengan suara yang cukup pelan atau mungkin
terlalu lembut. “Tidak ada apa-apa hanya sekedar tanya. Mama kamu bagaimana
kondisinya?”, “Ya, begitulah. Masih terlihat lemas. Terima kasih sudah tanya
kondisi mama aku. Kalau begitu aku pergi dulu, sudah hampir jamnya aku latihan.”
Ucap ku sambil tersenyum tipis kepadanya.
“Kamu akan saya turunkan dalam
pementasan bulan depan nanti, kamu siap, Glori?” tanya guru piano ku dan aku memanggilnya dengan sebutan Sensei.
“Secepat ini, sensei? Tapi aku belum menguasai lagu ini dengan baik.” Aku terkejut
dengan ucapan sensei, baru saja aku latihan selama dua minggu tapi sudah
diturunkan dalam kompetisi pada bulan depan. “Jangan khawatir, Glori. Kamu bisa
atasi ini semua. Kamu murid sensei yang paling berbakat yang pernah sensei
temui sejauh ini. Kamu tidak mempunyai sebuah piano atau pun keyboard di rumah,
tapi dengan niat kamu yang besar kamu bisa bermain piano dengan sangat baik. Inilah
bakat kamu.” Ucapan sensei membuat ku bersemangat dan membuat perasaan aku
lega. Inilah hebatnya sensei, beliau orang yang selalu memperhatikan
lingkungannya dan selalu tersenyum kepada semua orang. Tidak heran kalau
orang-orang yang mengenalnya menjulukinya sebagai orang yang ramah dan cepat akrab
dengan orang lain. Aku pun melanjutkan latihan dan fokus pada kompetisi bulan
depan nanti.
Baru saja aku selesai latihan
piano, kali ini latihan piano ku lebih padat dari pada biasanya. Memang belakangan
ini latihan untuk kompetisi nanti membuat ku mudah lelah, tapi aku
tidak akan mengeluh. Sebab aku melakukannya dengan senang hati dan tidak semua
orang mendapatkan kesempatan seperti ini. Tentu saja untuk kompetisi nanti aku
harus menjaga kondisi badan ku dan semoga saja kondisi badan ku tidak menurun
akibat latihan terus menerus.
“Ma, aku pulang.” Ucap ku
setelah membuka pintu apartemen. Ternyata mama sedang menonton TV. Tumben,
biasanya mama tidak suka menyetel TV kecuali kalau aku yang ajak. “Mama sudah
makan? Kok tumben, ma, ada angin apa mama nonton TV?” mama tersenyum pada ku
dan menyuruh aku duduk disampingnya. “Tidak ada angin apa-apa selain angin
hujan tadi, kok. Hanya ada angin rindu dengan suara TV.” Mama membalas dengan
senyum yang manis. “Oh, ya, tadi mama sudah makan kok, baru saja selesai.” Aku langkahkan
kaki ku ini ke dapur dan mencari cemilan. Tapi aku rasa cemilan disini sudah
habis semua, belakangan ini tanpa sadar aku jadi suka ngemil, tidak heran berat
badan ku bertambah beberapa kilo.
“Ma,
kita nonton DVD, yuk. Aku sudah lama gak nonton bareng mama.”
..............
Awalnya
aku tidak sadar kalau mama tertidur. Terlihat tidur mama sangat pulas. Tapi kelamaan
ada yang aneh, mama tidur dengan bibir yang agak pucat. Aku mencoba meraba pipi
mama dan hasilnya membuat ku panik. Panas, ini panas sekali, tidak biasanya
sepanas ini. Aku mencoba membangunkannya tapi mama tidak merespon. Segera aku
menelepon taksi untuk membawa mama ke rumah sakit. Sampai di depan taksi aku
melihat Deon menatap aku dan berlari kearah ku dan mama. “Mama, mu? Apa aku
boleh ikut?” aku sempat terdiam beberapa detik, tapi ada baiknya bila ada
laki-laki yang ikut bersama kami, “Iya, boleh.”.
Tinggal beberapa jam lagi aku
akan tampil ke atas panggung. Rasa gugup mulai menghampiri ku. Banyak pikiran
yang membuat tangan ku ini sungguh berat. “Glori, semua akan baik-baik saja. Kamu
pasti bisa, Glori. Demi kamu dan juga mama kamu yang sedang terbaring di rumah
sakit. Kamu harus kuat.” Sensei mengetahui keadaaan aku dan juga mama ku. Aku sadar
ini bukan waktunya aku gugup atau takut. Aku sudah latihan berminggu-minggu dan
aku tidak ingin membuat semua yang mendukung aku menjadi kecewa, terutama mama.
“Sensei, mungkin ini akan menjadi pertunjukkan terakhir aku. Setelah ini aku
akan mencari pekerjaan supaya bisa membayar operasi mama kedepannya.” Sensei tidak
bisa membuka mulutnya. Sensei terkejut, wajar saja. Aku benar-benar mengambil
keputusan yang berat. Aku menyukai piano, bahkan mencintainya sebagai sebagian
diriku sendiri. Tapi di lain sisi aku harus bisa membantu mama agar cepat
sembuh. Sensei akhirnya tersenyum hangat pada ku, “Asal kamu bahagia buat
sensei itu tidak masalah. Tapi ingatlah, tempat latihan piano selalu terbuka
untuk mu.”.
Inilah saatnya aku tampil, lagu
yang akan aku bawakan ialah FOLLOW YOUR HAPPINESS, lagu yang akan selalu
menjadi sebuah perjalanan aku yang paling berharga. Akan selalu aku ingat,
pasti. Karena lagu ini benar-benar membuat ku terharu, ini lagu kejujuran hati.
Dan aku sadar betul apa yang bisa membuat aku bahagia, piano.
Setelah selesai bermain aku
menundukkan kepala kepada semua penonton yang hadir, semua orang berdiri sambil
menepuk tangan. Air mata ku tidak bisa tertahan lagi, mengalir begitu saja. Begitu pula dengan sensei. Sensei tahu masalah yang aku hadapi sejauh ini, oleh karena itu aku
memilih lagu ini.
Aku
masuk ke ruang peserta sambil menunggu hasilnya, siapa pun yang jadi juara aku
senang dan lega. Sebab aku bermain dengan tulus untuk semuanya.
“Glori, ada tamu untuk kamu
didepan.” Kata sensei, aku bangkit berdiri dan menuju pintu. “Deon?” ucap ku
tidak percaya apa yang sedang aku lihat. “Selamat, kamu tadi bermain dengan
indah. Ternyata kamu memang berbakat dalam bermain piano.”, aku menjadi malu
tidak tahu mengapa, tiba-tiba kata-kata dari mulut Deon terdengar sangat tulus
dan membuat ku nyaman. “Terima kasih. Kondisi mama bagaimana?”, Deon pernah
bilang kepada ku kalau dia akan membantu melihat kondisi mama hari ini. Tapi tiba-tiba
saja Deon muncul dihadapan ku.
“Ya,
awalnya aku ingin terus ada di rumah sakit, tapi mama mu menyuruh aku lihat
kompetisi kamu kali ini.”
“Jadi
mama sudah sadar dari komanya? Kamu tidak bohong, kan?” tapi Deon melihat ku
dengan tatapan yang berbeda, terlihat sedih dan khawatir. “Deon, mama aku tidak
kenapa-kenapa, kan?” entah mengapa aku mulai khawatir dan aku menjadi sesak
napas. Deon menatap aku dengan perasaan yang susah aku tebak.
“Deon...?”
“Mama kamu tadi sempat sadar beberapa saat. Pada saat sadar mama kamu menyuruh aku untuk datang kesini. Awalnya aku gak mau karena kondisi mama kamu drop lagi, tapi mama kamu memaksa, katanya aku harus datang sebagai pengganti mama kamu untuk melihat pertunjukkan kamu. Dan setelah itu...” Deon terdiam sesaat. Ingin rasanya aku menutup telinga, aku pun terdiam.
“Mama kamu kritis, Glori. Sekarang mama kamu sedang dioperasi.” Sensei tiba-tiba sudah ada dibelakang kami dan berkata seperti itu kepada kami. Ternyata sebelum aku yang tahu kondisi mama, sensei sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Kaki ku mendadak menjadi lemas, Deon membantu aku berjalan kembali ke dalam ruangan. Aku tidak dapat berbicara apa-apa lagi sekarang. Air mata ku terjatuh dengan pelan. Inilah saat-saat yang membuat aku ketakutan, apa aku akan kehilangan mama? Dan menjadi seorang diri. Papa telah tiada, kalau pun mama akan menyusul papa, aku siap. Sebab aku sendiri merasa kasihan melihat mama menderita karena penyakitnya itu. Tapi di lain sisi aku pasti akan merasa berat menanggung semuanya.
“Deon...?”
“Mama kamu tadi sempat sadar beberapa saat. Pada saat sadar mama kamu menyuruh aku untuk datang kesini. Awalnya aku gak mau karena kondisi mama kamu drop lagi, tapi mama kamu memaksa, katanya aku harus datang sebagai pengganti mama kamu untuk melihat pertunjukkan kamu. Dan setelah itu...” Deon terdiam sesaat. Ingin rasanya aku menutup telinga, aku pun terdiam.
“Mama kamu kritis, Glori. Sekarang mama kamu sedang dioperasi.” Sensei tiba-tiba sudah ada dibelakang kami dan berkata seperti itu kepada kami. Ternyata sebelum aku yang tahu kondisi mama, sensei sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Kaki ku mendadak menjadi lemas, Deon membantu aku berjalan kembali ke dalam ruangan. Aku tidak dapat berbicara apa-apa lagi sekarang. Air mata ku terjatuh dengan pelan. Inilah saat-saat yang membuat aku ketakutan, apa aku akan kehilangan mama? Dan menjadi seorang diri. Papa telah tiada, kalau pun mama akan menyusul papa, aku siap. Sebab aku sendiri merasa kasihan melihat mama menderita karena penyakitnya itu. Tapi di lain sisi aku pasti akan merasa berat menanggung semuanya.
“Glori, sebetulnya sensei ingin
kamu tetap bermain piano. Tadi saat kalian sedang berbicara berdua hasil
kompetisi sudah keluar. Dan sensei menggantikan posisi kamu sementara. Glori,
kamu juara pertama. Sensei tahu kamu punya masalah yang berat. Tapi dari sini
sensei mau kamu bersemangat karena kejuaraan ini. kamu membuktikan kepada
semuanya kalau kamu bisa. Mama kamu pasti bangga mempunyai anak seperti kamu. Karenanya,
sensei akan membiayai kamu sekolah musik dari sekarang.” Ucapan sensei
membuatku menjatuhkan air mata yang dari tadi aku tahan, dan aku menangis. Aku sadar
dan sensei tahu benar inilah sumber kebahagiaan aku. Dan juga mama, seandainya
mama tidak memperkenalkan aku pada piano aku tidak bisa seperti sekarang ini.
Deon duduk disebelah ku, memeluk ku dengan lembut. Deon sendiri berbisik pada
aku, bahwa dia akan menjaga aku mulai sekarang.
Hampir tiga tahun sudah aku
menjalani aktifitas sebagai mahasiswa, dengan jurusan musik tentunya. Dan sungguh
keajaiban juga aku sudah menjadi guru privat, dengan bantuan sensei pastinya. Di
usia ku yang masih muda Tuhan memberi aku jalan yang indah di mata ku, walau
awalnya tidak selalu terbungkus dengan kado, tapi pada akhirnya aku mendapatkan
bungkusan kado tersebut dengan rapi dan indah. Walaupun operasi mama waktu itu
gagal dan aku kehilangan sosok orang tua sekali lagi, aku tetap tersenyum dan
tumbuh menjadi orang yang kuat. Sebab aku yakin kedua orangtua ku menjaga aku
dari atas sana dan tersenyum puas melihat anak mereka satu-satunya perlahan
tapi pasti menjadi seorang pianis muda.
“Pa,
ma, tanpa kalian aku tidak akan pernah ada didunia ini. Terima kasih sudah
mengajari aku sebuah kehidupan yang berarti bagi ku. Sekarang dan saat ini aku
tidak sendirian lagi, karena ada seseorang yang sebetulnya memperhatikan aku
dari dulu dan dia berjanji akan selalu menjaga aku.”
“Om,
tante, ijinkan aku untuk menjaga anak kalian satu-satunya,” aku menoleh kearah
Deon yang sudah menjadi kekasih ku selama dua tahun. Kami berdua bangkit
berdiri dari tempat peristirahatan papa dan mama. Deon memengam tangan ku
dengan lembut dan menatap ku dengan tulus, sungguh aku benar-bernar bersyukur
memilikinya. Inilah hidup ku sekarang.
THE
END
Photo : credit to owner (source : Google)